Peringatan!!!
Untuk anak dibawah 16 tahun dilarang meneruskan mengikuti cerita ini!!!!!
Sebelum aku ceritakan semuanya, aku mohon maaf kepada seluruh pembaca karena cerita ini sedikit jorok. Mengapa harus kuceritakan? Lho, katanya di dunia blogger semuanya harus berbagi. Kecuali teman tidur, katannya. Katanya...! katanya...! Sedikit-sedikit katanya! Emang nggak ada katanya yang lain. He.....heee.heeeeee.heeeee..,.Aku jadi ketawa sendiri.....! Sebentar aku tak ketawa dulu katanya. Inilah awal mula cerita ini dimulai...
Syahdan.... Aku punya tetangga. Nggak tetangga dekat, sih. Namanya pak Pardi. Istrinya biasa dipanggil bu Sri. Suatu ketika aku ngobrol sama pak Pardi saat kondangan manten. Asyik! Bener-bener asyik ngobrol ma dia. Nggak pernah kehabisan cerita. Sambung menyambung menjadi satu, tapi panjaaaaaaaaaaaaaang banget. Cerita punya cerita, dus akhirnya sampailah kepada masalah yang sedikit menyentuh ke arah rumah tangga.
"Dik Blogger,... (haa...haaa....haaa ...emangnya aku blogger beneran) sampeyan khan belum berkeluarga", dia melirik kearah ku dengan sedikit menyipitkan matanya sebelah, sementara bibirnya tersenyum memperlihatkan sedikit giginya,"banyak sekalihal-hal dalam keluarga yang harus dipelajari sebelum sampeyan memutuskan untuk membangun keluarga", asap dimulutnya mengepul di tiupkan ke arah ku.
Aku jadi tersenyum dan menimpali, "gimana to, pak?".
" Jika orang sudah berkeluarga, suami ataupun istri harus terbuka satu sama lain."
" Ya, memang seharusnya begitu, kan, pak?!" aku menyahut.
" Itu benar! Tapi khan tidak semua berjalan sesuai teori ataupun kaidah-kaidah rumah tangga yang berlaku."
" Kok bisa begitu, pak Pardi. Mestinya suami istri harus pegang komitmen,dong. Kalau terjadi seperti itu kacau nanti keluarga!", aku sedikit protes.
" Lha, sampeyan bener, dhik. Tapi kan sampeyan mendasarkan pada nilai ideal sebuah keluarga. Tidak semuanya bisa seideal itu. Coba saja nanti kalau dik blogger sudah menikah. Pasti banyak hal baru yang kadang-kadang tidak cocok dengan teori".
" Ada satu cerita menarik sebagai contoh bila sebuah keluarga tidak ada keterbukaan", sambil mengambil korek dia melanjutkan,"Hal sederhana tapi berakibat fatal."
" Gimana, pak?", aku memotongnya.
" Peristiwa ini di alami oleh pak Kamto", dia menoleh dan bertanya pada ku," Dik, kalau seorang wanita sudah diperistri bolehkah suami melihat "barang" istrinya?"
" Ya harus boleh , dong ! Toh kalau pingin "begituan" pasti sama-sama lepas pakaian! Kalau nggak boleh, nggak usah menikah saja sekalian !", aku semakin panas dan heran.
" Itulah yang dialami pak Kamto. Dulu..., tapi itu dulu! Sekarang sih sudah enggak."
"Kok bisa berubah, pak? Gimana ceritanya?", aku jadi tak sabar mendengarnya.
"Waktu itu Pak Kamto sering mengeluh kepada ku. Dia selalu bilang. Senang ya, kamu. Tidak seperti aku. Masak cuma kepingin... sekali saja, melihat barang dia (maksudnya istri pak Kamto) kok nggak pernah diperbolehkan. Enakan kamu ! Mau tiap haripun boleh-boleh saja. Bisa-bisa aku STRESS dibuatnya". Mendengar seperti itu aku paling-paling bilang " Ya... pelan-pelan...dibujuk gimana caranya supaya boleh untuk di lihat. Masak seperti itu saja bikin strees. Toh nggak lihat juga nggak apa-apa!"
Dan dia pasti menjawab, " Lha iya wong kamu bisa tiap hari lihat. Kayak aku, nih. Sekali saja belum pernah! Masa sudah 20 tahun menikah nggak pernah tahu rupa barang istriku". Kalau sudah sampai di situ biasanya dia mulai emosi.
Sampai suatu ketika di mampir ke rumah lagi. Baru ku bukakan pintu pak Kamto sudah mengacungkan jempolnya sambil ngomong, "berhasil, Di, berhasil... Pokoknya aku sukses kemarin". Aku jadi bingung di buatnya. "Berhasil....berhasillll... Sukses...suksess...sukses....!!!!", dia masih terus mengucap sambil senyam-senyum nggak karuan. Kayak orang nggak waras.
" Apanya yang beres...berhasilll, sukses itu? Cerita itu ya mbokyao dari awal biar dhong, gitu lhoh!"
Sambil menuju tempat duduk dia berkata penuh semangat, "aku sudah berhasil melihat barang istriku! Nggak cuma semenit dua menit! Setengah jam lebih! Gila...!!!", nyerocos saja pak Kamto. Aku yang malah jadi penasaran. Langsung saja "bruk" kulemparkan pantatku di sebelah pak Kamto. Pingin tahu lanjutan ceritanya.
" Kamu tahu, khan aku sering mengeluh tentang barang istri ku?"
" Ya. Tiap ketemu!"
" Kemarin tiba-tiba aku punya akal. Istriku khan kebetulan diare. Melihat istriku keluar masuk WC, tiba-tiba saja muncul pikiran jelek di pikiranku. Tapi ku biarkan saja, toh inilah cara satu-satunya untuk bisa melihat barang istriku. Maka kuambil cabe di dapur, kuhancurkan dan kemudian aku campurkan ke dalam air di bak mandi. Benar saja perkiraanku! Tak berapa lama setelah istriku kembali keluar dari WC dia merintih-rintih minta tolong. Pak, tolong sini, pak. Cepat!!!! Tolong! Istriku teriak-teriak dari kamar. Aku lari ke kamar secepat kilat karena pikiran sudah begitu senangnya. Inilah saatmu, Kamto! Brak..!!! Aku langsung mendorong pintu keras-keras. Pura-pura nggak tahu ada kejadian apa. Dan...Ahoiiii Benar-benar hebat...!!!!!! Terbelalak aku! Istriku sedang mengipas-ngipas barangnya sambil merintih-rintih. Aduh panasnya....aduh panasnya....!!! Pak tolongin aku ,pak. Panas sekali! "Apanya ? Apanya ?", aku pura-pura nanya. Ini, pak. Dia menunjuk kearah barangnya. "Lho, kok bisa?", Aku pura-pura nggak ngerti lagi. Iya..., aku khan lagi diare. Aku tadi ke WC tapi lupa barusan pakai obat gosok. Panas nih jadinya. Tolong di kipasin, pak. Wah kalau seperti ini ibaratnya "bagai orang mengantuk, disorongkan bantal". Tanpa ba..bi..bu.. Nggak kipas yang aku ambil, tetapi mulutku sendiri yang ku gunakan untuk meniup. Sambil senyum-senyum pikiranku cuma "ini to...barangmu...bu....Kena sekarang kamu....Rasain kau... aku berhasil.,..aku berhasilllll ...aku berhasilllll"
Untuk anak dibawah 16 tahun dilarang meneruskan mengikuti cerita ini!!!!!
Sebelum aku ceritakan semuanya, aku mohon maaf kepada seluruh pembaca karena cerita ini sedikit jorok. Mengapa harus kuceritakan? Lho, katanya di dunia blogger semuanya harus berbagi. Kecuali teman tidur, katannya. Katanya...! katanya...! Sedikit-sedikit katanya! Emang nggak ada katanya yang lain. He.....heee.heeeeee.heeeee..,.Aku jadi ketawa sendiri.....! Sebentar aku tak ketawa dulu katanya. Inilah awal mula cerita ini dimulai...
Syahdan.... Aku punya tetangga. Nggak tetangga dekat, sih. Namanya pak Pardi. Istrinya biasa dipanggil bu Sri. Suatu ketika aku ngobrol sama pak Pardi saat kondangan manten. Asyik! Bener-bener asyik ngobrol ma dia. Nggak pernah kehabisan cerita. Sambung menyambung menjadi satu, tapi panjaaaaaaaaaaaaaang banget. Cerita punya cerita, dus akhirnya sampailah kepada masalah yang sedikit menyentuh ke arah rumah tangga.
"Dik Blogger,... (haa...haaa....haaa ...emangnya aku blogger beneran) sampeyan khan belum berkeluarga", dia melirik kearah ku dengan sedikit menyipitkan matanya sebelah, sementara bibirnya tersenyum memperlihatkan sedikit giginya,"banyak sekalihal-hal dalam keluarga yang harus dipelajari sebelum sampeyan memutuskan untuk membangun keluarga", asap dimulutnya mengepul di tiupkan ke arah ku.
Aku jadi tersenyum dan menimpali, "gimana to, pak?".
" Jika orang sudah berkeluarga, suami ataupun istri harus terbuka satu sama lain."
" Ya, memang seharusnya begitu, kan, pak?!" aku menyahut.
" Itu benar! Tapi khan tidak semua berjalan sesuai teori ataupun kaidah-kaidah rumah tangga yang berlaku."
" Kok bisa begitu, pak Pardi. Mestinya suami istri harus pegang komitmen,dong. Kalau terjadi seperti itu kacau nanti keluarga!", aku sedikit protes.
" Lha, sampeyan bener, dhik. Tapi kan sampeyan mendasarkan pada nilai ideal sebuah keluarga. Tidak semuanya bisa seideal itu. Coba saja nanti kalau dik blogger sudah menikah. Pasti banyak hal baru yang kadang-kadang tidak cocok dengan teori".
" Ada satu cerita menarik sebagai contoh bila sebuah keluarga tidak ada keterbukaan", sambil mengambil korek dia melanjutkan,"Hal sederhana tapi berakibat fatal."
" Gimana, pak?", aku memotongnya.
" Peristiwa ini di alami oleh pak Kamto", dia menoleh dan bertanya pada ku," Dik, kalau seorang wanita sudah diperistri bolehkah suami melihat "barang" istrinya?"
" Ya harus boleh , dong ! Toh kalau pingin "begituan" pasti sama-sama lepas pakaian! Kalau nggak boleh, nggak usah menikah saja sekalian !", aku semakin panas dan heran.
" Itulah yang dialami pak Kamto. Dulu..., tapi itu dulu! Sekarang sih sudah enggak."
"Kok bisa berubah, pak? Gimana ceritanya?", aku jadi tak sabar mendengarnya.
"Waktu itu Pak Kamto sering mengeluh kepada ku. Dia selalu bilang. Senang ya, kamu. Tidak seperti aku. Masak cuma kepingin... sekali saja, melihat barang dia (maksudnya istri pak Kamto) kok nggak pernah diperbolehkan. Enakan kamu ! Mau tiap haripun boleh-boleh saja. Bisa-bisa aku STRESS dibuatnya". Mendengar seperti itu aku paling-paling bilang " Ya... pelan-pelan...dibujuk gimana caranya supaya boleh untuk di lihat. Masak seperti itu saja bikin strees. Toh nggak lihat juga nggak apa-apa!"
Dan dia pasti menjawab, " Lha iya wong kamu bisa tiap hari lihat. Kayak aku, nih. Sekali saja belum pernah! Masa sudah 20 tahun menikah nggak pernah tahu rupa barang istriku". Kalau sudah sampai di situ biasanya dia mulai emosi.
Sampai suatu ketika di mampir ke rumah lagi. Baru ku bukakan pintu pak Kamto sudah mengacungkan jempolnya sambil ngomong, "berhasil, Di, berhasil... Pokoknya aku sukses kemarin". Aku jadi bingung di buatnya. "Berhasil....berhasillll... Sukses...suksess...sukses....!!!!", dia masih terus mengucap sambil senyam-senyum nggak karuan. Kayak orang nggak waras.
" Apanya yang beres...berhasilll, sukses itu? Cerita itu ya mbokyao dari awal biar dhong, gitu lhoh!"
Sambil menuju tempat duduk dia berkata penuh semangat, "aku sudah berhasil melihat barang istriku! Nggak cuma semenit dua menit! Setengah jam lebih! Gila...!!!", nyerocos saja pak Kamto. Aku yang malah jadi penasaran. Langsung saja "bruk" kulemparkan pantatku di sebelah pak Kamto. Pingin tahu lanjutan ceritanya.
" Kamu tahu, khan aku sering mengeluh tentang barang istri ku?"
" Ya. Tiap ketemu!"
" Kemarin tiba-tiba aku punya akal. Istriku khan kebetulan diare. Melihat istriku keluar masuk WC, tiba-tiba saja muncul pikiran jelek di pikiranku. Tapi ku biarkan saja, toh inilah cara satu-satunya untuk bisa melihat barang istriku. Maka kuambil cabe di dapur, kuhancurkan dan kemudian aku campurkan ke dalam air di bak mandi. Benar saja perkiraanku! Tak berapa lama setelah istriku kembali keluar dari WC dia merintih-rintih minta tolong. Pak, tolong sini, pak. Cepat!!!! Tolong! Istriku teriak-teriak dari kamar. Aku lari ke kamar secepat kilat karena pikiran sudah begitu senangnya. Inilah saatmu, Kamto! Brak..!!! Aku langsung mendorong pintu keras-keras. Pura-pura nggak tahu ada kejadian apa. Dan...Ahoiiii Benar-benar hebat...!!!!!! Terbelalak aku! Istriku sedang mengipas-ngipas barangnya sambil merintih-rintih. Aduh panasnya....aduh panasnya....!!! Pak tolongin aku ,pak. Panas sekali! "Apanya ? Apanya ?", aku pura-pura nanya. Ini, pak. Dia menunjuk kearah barangnya. "Lho, kok bisa?", Aku pura-pura nggak ngerti lagi. Iya..., aku khan lagi diare. Aku tadi ke WC tapi lupa barusan pakai obat gosok. Panas nih jadinya. Tolong di kipasin, pak. Wah kalau seperti ini ibaratnya "bagai orang mengantuk, disorongkan bantal". Tanpa ba..bi..bu.. Nggak kipas yang aku ambil, tetapi mulutku sendiri yang ku gunakan untuk meniup. Sambil senyum-senyum pikiranku cuma "ini to...barangmu...bu....Kena sekarang kamu....Rasain kau... aku berhasil.,..aku berhasilllll ...aku berhasilllll"
Pak Kamto menepuk pundak ku dengan keras melihat aku terlongong-longong seperti sapi ompong!
"Aku kaget", pak Pardi kembaali berbicara padaku.
" Saat itu terbayang dalam imajinasiku seperti apa kejadian yang dialami pak Kamto!!!".
Aku dan pak Pardi tidak lama kemudian pamitan sama yang punya hajat.
Sambil berjalan pulang dalam pikiranku cuma ada satu kata. "Gila!"
1 0 komentar:
Post a Comment